Kamis, 15 September 2011

Strategi Membuat Manajemen Band

Share
Apa sih yang bisa dinikmati musisi ketika mengetahui data Asiri tahun 2008, 96 Persen CD yang beredar di pasaran adalah bajakan? Hanya 4 Persen yang asli. Kalau terjun langsung ke pasar, mungkin ditanya bisa lebih trenyuh lagi. Karena angkanya bisa lebih kecil lagi. Tapi mungkin kita bisa berkilah, buktinya banyak artis yang bisa kaya [mendadak] karena RBT-nya tinggi [banget].
Menurut saya, ada dua kekuatan yang berbeda. Satu sisi kita bicara bentuk fisik dari album band, satunya kita bicara soal digitalized. Konon, bentuk fisik album sekarang sedang mengalami degradasi nilai. Terbukti dengan makin merosotnya penjualan fisik CD hinggal 50-60 persen. Data ini disampaikan oleh beberapa petinggi label yang merasakan bagaimana imbasnya ke pasar. Implikasinya memang berjejer ke distributor. Banyak retailer kaset atau CD yang akhirnya tutup, karena kalah bersaing dan tidak mampu menutup operasionalnya. Kecuali yang punya benar-benar “gila” dan cinta musik habis-habisan. Tapi sampai kapan?
Sekarang, semua serba digital. Industri musik pun tak cuma menghadapi pembajak fisik, tapi juga “tertampar” dengan munculnya free downloader yang menjamur dan makin susah dicegah. Munculnya teknologi internet memang bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan karena musisi bebas berkarya dan bisa dinikmati pendengar seluruh dunia, tapi disisi lain, bagi band atau label yang materinya dicomot mentah-mentah tanpa royalty, tentu ini seperti pencurian di siang bolong.
Coba ketik ‘music download’ di google. Jangan pingsan kalau Anda menemukan angka 2,360,000,000 item yang bisa dipakai untuk mendownload musik secara gratis. Label atau artis rilis hari ini, sore nanti mungkin sudah tersentak di jagat maya, unduh gratis dan utuh. Ini bukan angka kecil dan tidak main-main, karena industri musik seluruh dunia pun mengalaminya. Mau menggugatnya? Sampai dunia kiamat, tampaknya belum akan selesai gugat menggugat itu.
Teknologi informasi mempengaruhi musik dalam berbagai hal. Salah satunya adalah mengubah media yang digunakan untuk mengantarkan musik ke pendengar, yang berubah dari format analog (kaset dan piringan hitam) ke digital (CD dan MP3). Setelah masuk ke dunia digital, masalah (dan kesempatan) mulai muncul. Penerapan harga (pricing) musik dalam format digital merupakan pengalaman baru bagi pelaku bisnis musik.
Mari kita lihat pricing kaset dan CD lebih dahulu. Harga CD lebih mahal dari kaset. Ini menjadi pertanyaan bagi saya. Kalau kita lihat dari media yang digunakan, kaset kosong lebih mahal daripada CD atau bahkan DVD kosong. Kaset kosong harganya sekitar Rp 5000,- sementara CD kosong harganya Rp2500,-. Proses duplikasi CD semestinya lebih mudah dan cepat daripada proses duplikasi kaset yang sangat rentan terhadap faktor noise. Dilihat dari hal-hal ini, semestinya harga CD lebih murah daripada harga kaset.
Data lain, kaset malah sudah dianggap “fosil” oleh negara tertentu. Seperti berita yang saya kutip dari BussinessWeek, kaset yang dulu pernah berjaya kini juga harus mengalah atas kelahiran musik digital. Bahkan pemutarnya pun akan dimusnahkan. Siap-siap. Setali tiga uang dengan disket (floppy disk) yang dibunuh media modern seperti CD atau flashdrive.
Di era teknologi canggih seperti sekarang ini, sesuatu yang ‘berbau’ digital memang makin diminati. Musik digital salah satunya. Penjualan musik digital di Amerika Serikat (AS) melonjak 60 persen pada semester pertama 2007. Sementara itu, dominasi musik digital di pasaran berdampak pada runtuhnya penjualan compact disc (CD).
Data yang dirilis Nielsen SoundScan, secara keseluruhan penjualan album turun 15 persen baik yang dikemas dalam bentuk CD maupun digital. Penjualan musik digital dalam bentuk CD sendiri jatuh 19,3 persen menjadi 205,7 juta unit. Sedangkan penjualan album digital melonjak 60 persen menjadi 23,5 juta unit
Para analis memprediksi, penjualan CD akan turun lebih cepat mengingat makin maraknya industri musik yang bertransisi ke format digital seperti MP3. Soal penjualan musik digital, saat ini masih didominasi oleh layanan musik iTunes milik Apple dengan pangsa pasar lebih dari 70 persen.
Sekarang terbentang data dan fakta seperti itu. Lalu bagaimana sebaiknya industri musik Indonesia, termasuk di dalamnya musisi-musisi yang mencari nafkah dari situ? Jangan-jangan fakta dan data yang “mengerikan” ini mereka juga tidak tahu?
Saya tentu tidak akan mengerti sedetil orang label atau mereka yang memang berkutat dengan persoalan ini. Saya melihat dari sudut pandang wartawan yang berdiskusi [mungkin, ketika berdiskusi dengan label atau musisi, ada data yang tidak diungkap, itu bisa saja]. Tapi kalau boleh memberi masukan, da beberapa hal yang bisa dilakukan.

1. Percepat Proses Digitalized
Industri ini bergerak cepat. Setiap hari ada perkembangan baru yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Belajar dan belajar menjadi penting. Tak Cuma itu, kita juga dituntut untuk sigap dan mengerti perkembangan teknologi yang bergulir. Ketika label, musisi, atau siapapun yang bergerak di industri ini kalah cepat dengan “perompak, pembajak, penjahat” yang juga cari makan dari lahan ini, sebenarnya lonceng kematian sudah ditabuh.
Bagi musisi, fisik CD memang masih jadi bukti eksistensinya. Tapi kelak, hal ini tidak bisa diandalkan. Ketika kemudian bentuk fisik sudah tidak jadi incaran, mungkin perlu perangkat lain untuk tetap eksis. Salah satunya adalah digitalized. Entuknya bisa macam-macam. Mungkin kelak, tidak ada lagi toko kaset atau CD, tapi kios-kios kecil yang ketika ingin membeli album idola kita, hanya transfer lewat flashdisk yang sudah ditandai khusus. Atau kelak mungkin ada teknologi baru yang lebih canggih lagi. Entahlah, tapi itu mungkin.

2. Memperbarui Manajemen Bisnis Keartisan
Dulu, ketika ada anak bercita-ciat jadi musikus, mungkin banyak orang tua yang menolaknya. Tapi sekarang, bisa jadi kasusnya terbalik. Orangtua justru mendorong anaknya untuk latihan alat musik, ngeband, ngetop dan ikut kecipratan ngetopnya.
Manajemen keartisan sudah jadi kajian di beberapa lembaga, meski belum secara formal. Di Australia ada satu kampus yang membuka Ilmu Manajemen Keartisan. Artinya, dunia keartisan pun perlu punya manajemen yang benar, efektif dan tepat guna.
Maaf, saya harus mengatakan, di Indonesia banyak musisi [99 persen], banyak yang menggampangkan profesi musisinya sendiri. Tidak anyak musisi kita yang punya manajer dalam artis sesungguhnya. Yang saya pelajari, manajer ini bukan tukang angkat koper si artis, aatu pasang badan ketika si artis digempur infotainment, tapi lebih dari itu. Mereka harus benar-benar punya kemampuan planning public relation, finance, dan marketing yang benar.
Maaf juga kalau saya harus mengatakan, banyak musikus yang tidak punya milestone yang jelas karirnya mau dibawa kemana. Mereka hanya mengatakan, ikut air mengalir. Lah, kalau muaranya ke selokan? Masak iya mau ikut air mengalir terus? Mengapa ini penting, karena tidak jarang musisi yang hidupnya melarat dan kesusahan ketika pamornya turun, ordernya sepi dan karyanya tak didengar orang lagi. Kecuali dia pengusaha, konglomerat, atau punya ‘pabrik uang’ yang nggak pernah habis, silakan saja suka-suka. Itupun tetap harus bisa mempertanggung-jawabkan karyanya.

3. Komitmen Jangka Panjang
Jika Anda tidak jujur melihat diri Anda sendiri sebagai seorang musisi lebih dari 6 bulan sampai satu atau dua tahun, maka Anda sedang melalui sebuah fase yang bagi kita musisi “beneran” selalu berharap agar Anda MENGHILANG secepatnya! Menjadi seorang musisi adalah kerja keras seumur hidup, bukannya iseng-iseng! Musisi-musisi yang sukses di industri musik tidak sekadar memasukkan jempol kaki mereka untuk memeriksa keadaan air, mereka langsung terjun dengan kepala mereka lebih dahulu dan TIDAK pernah melihat ke belakang lagi! Sekali Anda telah menjadi seorang musisi maka seumur hidup Anda akan terus menjadi musisi! (Jeffrey A. Macak).

4. Menguatkan Cyber Public Relation [Cyber-PR]
Sekarang sedang happening istilah Cyber-PR. Untuk band baru atau siapapun yang bergolak di industri musik, hal ini mejadi sangat penting. Ini menjadi keharusan bagi label, musisi atau manajemen artis, supaya tetap eksis dan menjadi band yang long lasting.
Apa sebenarnya Cyber-PR? Gampangnya begini: PR yang dilakukan dengan sarana Media elektronik internet dalam membangun merek (brand) dan memelihara kepercayaan (trust), pemahaman, citra perusahaan/organisasi kepada public/khalayak dan dapat dilakukan secara one to one communication bersifat interaktif.
Artis sebagai brand yang harus dibangun, perlu manajemen yang kuat dan pandai menjual. Dia perlu mempertegas kepada khalayak, bahwa artisnya bagus, karyanya bagus dan layak diminati. Di era internet ini, tak perlu bertatap muka secara langung, ada banyak sarana yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi cber-PR yang kreatif, strategis dan menarik. Meski, tatap muka dengan fans, juga pentingn maknanya. Ini belum banyak dipelajari, tapi di kalangan PR, hal ini sedang hangat diperbincangkan
Di dunia musik Indonesia, hal ini sudah dilakukan oleh beberapa band, seperti Everybody Loves Irene [ELI]. Dan hasilnya, tidak bisa dibilang buruk. Meski kalau bicara hitungan bisnis, tentu masih perlu pembenahan lebih baik. Tapi bicara brand, ELI sudah bisa jadi citra sebuah produk. Ada band-band lain yang sudah mencoba melakukan hal ini juga, semoga hasilnya juga akan baik.
Memang tidak bisa main-main, karena perlu orang yang mengerti teknologi dan dunia public relations. Kalau hal ini bisa disinergikan dengan kekuatan PR offline-nya, tentu akan membuahkan hasil yang baik. Jangan tanya seberapa dan kapan siapnya, karena harus siap.
sumber

Tidak ada komentar: