Di industri musik sekarang ini, pelaku-pelakunya seperti label, band, penyanyi, distributor, dan siapapun yang menikmati periuk ini, sudah tak bisa lagi mengandalkan cara-cara konvensional untuk mendapat hasil yang maksimal. Harus ada suatu langkah revolusioner dan menakjubkan untuk mendapat respon yang menarik tentunya.
Banyak musisi yang benar-benar euphoria ketika mendapat kontrak dengan label besar [atau kecil sekalipun]. Mereka kemudian melonjak menjadi band yang bersiap masuk industri yang –konon—cukup ketat [dan kejam mungkin]. Tapi justru disaat itulah, sebenarnya mereka harus mempersiapkan diri supaya tidak cepat-cepat tergilas dan kemudian meletup menjadi asap yan tertiup angin.
Dalam wawancara dengan seorang musisi dari Amerika Serikat dan Belanda. Mungkin kita sudah tahu, bagaimana industri musik di negara tersebut. Bisa dibilang, jauh lebih maju dibanding Indonesia. Baik secara manajerial, teknologi atau pun karya-karyanya.
Dalam wawancara itu, ada satu kesimpulan yang bisa ditangkap. Mungkin saja tidak tepat seperti yang saya gambarkan ini, tapi bisa menjadi satu gambaran bagaimana industri disana bergerak. Dalam istilah musisi yang berada di ranah jazz itu, kebanyakan industri musik dijalankan oleh para musisi dan label besar yang berpengaruh. Mereka menganggap industri itu seperti mesin yang dapat diukur, dirancang dan dikendalikan dan di-Manage. Cara ini memang berhasil ketika musisi yang terjun dalam industri ini masih bisa dikendalikan dengan sempurna.
Tentu saja kini –masih menurut musisi jazz itu— industri musik akan akan mengalami banyak perubahan. Kelak, arahnya tidak lagi menjadi “mesin” semata, tapi sistim jaringan social, jaringan kerja dan strategi yang revolusioner akan lebih dominan.
Tentu saja hal itu tidak semudah membalik telapak tangan. Pergerakan itu juga banyak mengalami hambatan dari”orang dalam” sendiri yang sudah terbuai dengan status quo itu. “Kecuali ada satu movement cara berpikir da berbicara tentang bagaiman industri itu diolah dengan cara yang lebih strategis. Jika tidak, industri yang menopang kami ini akan tetap tersandung dan jatuh,” ujarnya. Dia tentu saja tidak hanya bicara soal industri jazz, tapi industri musik secara global.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah industri musiknya juga bergerak seperti mesin, kemudian juga bergerak menuju perubahan yang revolusioner dengan ide-ide gila yang menarik?
Kita memang masih berkutat di seputar pembajakan, materi lagu yang dianggap tidak berkualitas, dan strategi promosi [dan distribusi] yang cukup efektif. Maklum saja, kini peredaran musik sudah bergeser tak lagi fisik yang dicari, tapi digitalized sudah masuk. Tak perlu beli CD, karena cukup lewat email, kita sudah bisa mendapat album utuh dari musisi yang kita inginkan.
Industri kini dilihat sebagai sepotong teknologi, bahkan mungkin potongan teknologi kecil, yang kelak akan lebih dahsyat sisi positifnya dan negatifnya. Dua kubu yang saling mengintai itu. Meski begitu, industri musik Indonesia dianggap masih memiliki kemampuan untuk melahirkan musisi yang cukup berkualitas dan berkelas. Meski sudut pandangnya masih bisa diperdebatkan.
Strategi Industri Yang Revolusioner
Jangan terlalu serius kalau saya menggunakan istilah revolusioner. Saya hanya ingin menggambarkan, bagaimana sebaiknya pemikiran, langkah dan strategi yang dipakai dalam industri musik ini, benar-benar menjadi langkah yang antisipatif. Mungkin saya terlalu cepat menyebutnya, Anda boleh memilih evolusi.
Tapi apa saya tulis ini merupakan satu rangkuman dari berbagai obrolan dan wawancara dengan para pelaku industri musik. Baik musisi, label, atau distributor. Termasuk didalamnya, musisi yang sudah sukses menikmati hasil di industri musik Indonesia.
Seorang CEO perusahaan multinasional besar, pernah mengatakan, “Saya adalah seorang pembawa misi!”
Saya jadi teringat ketika beberapa band besar manggung di Indonesia. Dalam sesi wawancara, mereka selalu mengatakan, “Saya terus menerus berkeliling dunia, selain konser dan bertemu banyak orang dari banyak negara, saya juga ingin memberikan penjelasan tentang apa yang sedang kami buat dengan karya kami, dan juga mengapa memilih mengerjakannya. Karena kami ingin karya kami bisa membawa misi.”
Di Indonesia, banyak musisi boleh saja berkilah, boro-boro mikirin pernik-pernik soal manajerial dan visi jangka panjang, lah wong ketika dilirik label saja sudah jadi anugerah. Pemikiran yang benar untuk band yang ingin sukses tapi cepat mati dan tak didengar karyanya lagi.
Membentuk band, kemudian berusaha membesarkannya sebenarnya adalah investasi. Seperti membangun sebuah perusahaan, perlu waktu untuk masuk ke dalam ruang yang ingin dibangunnya. Investasi itu tentu berharap menguntungkan dan bisa menghidupi banyak orang untuk jangka panjang. Kalau berharap invstasi itu balik modal cepat dengan perencanaan yang tidak matang, mungkin bisa, tapi percayalah, pondasi akan secepat itu pula ambruk.
Ada beberapa hal yang bisa secara de facto dan de jure bisa dilakukan sebagai langkah awal. Pemahaman ini akan menjadi benderang seandainya band, penyanyi atau musisi, mau belajar dan memetakan misinya sebelum mereka mentas sebagai satu karya dan produk.
1.Percaya diri dan percaya kepada orang lain.
Bagi pemain baru, percaya kepada diri sendiri dan orang yang bisa kita percaya, dapat memberi kita rasa percaya diri untuk masuk dalam ranah ketidaktahuan dan untuk selanjutnya membekali diri menjadi lebih tahu. Menariknya, ada satu musisi Indonesia ketika diwawancara soal strategi ini menyebut satu kombinasi ‘sifat ragu-ragu yang logis’
Ternyata dalam ‘bisnis musikal’ sikap rendah hati dalam menerima orang sebagai kepercayaan, kadang bisa salah. Ini terbukti dengan “rusaknya” hubungan band atau penyanyi dengan manajernya yang kadang-kadang sudah kenal tahunan.
Akan lebih menarik kalau sama-sama bicara dengan baik, tanpa mengabaikan pendapat orang lan. Kadang orang yang kita anggap bodoh, justru mempunyai gagasan yang tidak pernah kita duga. Ingat, industri ini butuh kerjasama di semua lini.
2.Semangat dan Fokus
Semangat dalam melakukan pekerjaan, membuat lagu, promosi dan berpikir bagaimana supaya si artis ini laku, memberi energi dan kekuatan untuk memberikan yang terbaik. Harusnya, ketika ini bisa disinergikan dengan semua komponen dalam industri, hasilnya akan baik. Meski banyak hal lain yang tidak pernah kita duga juga.
3.Mencintai Industrinya
Kalau tidak mencintai industrinya, mengapa berniat masuk ke industri ini? Ini bekal penting untuk kemudian berani melakukan banyak yang positif demi memajukan industri musik itu sendiri. Kecintaan ini tidak bisa muncul secara tiba-tiba tanpa persiapan. Musisi yang kecebur harus benar-benar mempersiapkan perangkat untuk “lari marathon” dan tidak “mati” di tengah arena. Artinya, eksis untuk jangka waktu panjang, perlu dipupuk jauh-jauh hari.
sumber
Banyak musisi yang benar-benar euphoria ketika mendapat kontrak dengan label besar [atau kecil sekalipun]. Mereka kemudian melonjak menjadi band yang bersiap masuk industri yang –konon—cukup ketat [dan kejam mungkin]. Tapi justru disaat itulah, sebenarnya mereka harus mempersiapkan diri supaya tidak cepat-cepat tergilas dan kemudian meletup menjadi asap yan tertiup angin.
Dalam wawancara dengan seorang musisi dari Amerika Serikat dan Belanda. Mungkin kita sudah tahu, bagaimana industri musik di negara tersebut. Bisa dibilang, jauh lebih maju dibanding Indonesia. Baik secara manajerial, teknologi atau pun karya-karyanya.
Dalam wawancara itu, ada satu kesimpulan yang bisa ditangkap. Mungkin saja tidak tepat seperti yang saya gambarkan ini, tapi bisa menjadi satu gambaran bagaimana industri disana bergerak. Dalam istilah musisi yang berada di ranah jazz itu, kebanyakan industri musik dijalankan oleh para musisi dan label besar yang berpengaruh. Mereka menganggap industri itu seperti mesin yang dapat diukur, dirancang dan dikendalikan dan di-Manage. Cara ini memang berhasil ketika musisi yang terjun dalam industri ini masih bisa dikendalikan dengan sempurna.
Tentu saja kini –masih menurut musisi jazz itu— industri musik akan akan mengalami banyak perubahan. Kelak, arahnya tidak lagi menjadi “mesin” semata, tapi sistim jaringan social, jaringan kerja dan strategi yang revolusioner akan lebih dominan.
Tentu saja hal itu tidak semudah membalik telapak tangan. Pergerakan itu juga banyak mengalami hambatan dari”orang dalam” sendiri yang sudah terbuai dengan status quo itu. “Kecuali ada satu movement cara berpikir da berbicara tentang bagaiman industri itu diolah dengan cara yang lebih strategis. Jika tidak, industri yang menopang kami ini akan tetap tersandung dan jatuh,” ujarnya. Dia tentu saja tidak hanya bicara soal industri jazz, tapi industri musik secara global.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah industri musiknya juga bergerak seperti mesin, kemudian juga bergerak menuju perubahan yang revolusioner dengan ide-ide gila yang menarik?
Kita memang masih berkutat di seputar pembajakan, materi lagu yang dianggap tidak berkualitas, dan strategi promosi [dan distribusi] yang cukup efektif. Maklum saja, kini peredaran musik sudah bergeser tak lagi fisik yang dicari, tapi digitalized sudah masuk. Tak perlu beli CD, karena cukup lewat email, kita sudah bisa mendapat album utuh dari musisi yang kita inginkan.
Industri kini dilihat sebagai sepotong teknologi, bahkan mungkin potongan teknologi kecil, yang kelak akan lebih dahsyat sisi positifnya dan negatifnya. Dua kubu yang saling mengintai itu. Meski begitu, industri musik Indonesia dianggap masih memiliki kemampuan untuk melahirkan musisi yang cukup berkualitas dan berkelas. Meski sudut pandangnya masih bisa diperdebatkan.
Strategi Industri Yang Revolusioner
Jangan terlalu serius kalau saya menggunakan istilah revolusioner. Saya hanya ingin menggambarkan, bagaimana sebaiknya pemikiran, langkah dan strategi yang dipakai dalam industri musik ini, benar-benar menjadi langkah yang antisipatif. Mungkin saya terlalu cepat menyebutnya, Anda boleh memilih evolusi.
Tapi apa saya tulis ini merupakan satu rangkuman dari berbagai obrolan dan wawancara dengan para pelaku industri musik. Baik musisi, label, atau distributor. Termasuk didalamnya, musisi yang sudah sukses menikmati hasil di industri musik Indonesia.
Seorang CEO perusahaan multinasional besar, pernah mengatakan, “Saya adalah seorang pembawa misi!”
Saya jadi teringat ketika beberapa band besar manggung di Indonesia. Dalam sesi wawancara, mereka selalu mengatakan, “Saya terus menerus berkeliling dunia, selain konser dan bertemu banyak orang dari banyak negara, saya juga ingin memberikan penjelasan tentang apa yang sedang kami buat dengan karya kami, dan juga mengapa memilih mengerjakannya. Karena kami ingin karya kami bisa membawa misi.”
Di Indonesia, banyak musisi boleh saja berkilah, boro-boro mikirin pernik-pernik soal manajerial dan visi jangka panjang, lah wong ketika dilirik label saja sudah jadi anugerah. Pemikiran yang benar untuk band yang ingin sukses tapi cepat mati dan tak didengar karyanya lagi.
Membentuk band, kemudian berusaha membesarkannya sebenarnya adalah investasi. Seperti membangun sebuah perusahaan, perlu waktu untuk masuk ke dalam ruang yang ingin dibangunnya. Investasi itu tentu berharap menguntungkan dan bisa menghidupi banyak orang untuk jangka panjang. Kalau berharap invstasi itu balik modal cepat dengan perencanaan yang tidak matang, mungkin bisa, tapi percayalah, pondasi akan secepat itu pula ambruk.
Ada beberapa hal yang bisa secara de facto dan de jure bisa dilakukan sebagai langkah awal. Pemahaman ini akan menjadi benderang seandainya band, penyanyi atau musisi, mau belajar dan memetakan misinya sebelum mereka mentas sebagai satu karya dan produk.
1.Percaya diri dan percaya kepada orang lain.
Bagi pemain baru, percaya kepada diri sendiri dan orang yang bisa kita percaya, dapat memberi kita rasa percaya diri untuk masuk dalam ranah ketidaktahuan dan untuk selanjutnya membekali diri menjadi lebih tahu. Menariknya, ada satu musisi Indonesia ketika diwawancara soal strategi ini menyebut satu kombinasi ‘sifat ragu-ragu yang logis’
Ternyata dalam ‘bisnis musikal’ sikap rendah hati dalam menerima orang sebagai kepercayaan, kadang bisa salah. Ini terbukti dengan “rusaknya” hubungan band atau penyanyi dengan manajernya yang kadang-kadang sudah kenal tahunan.
Akan lebih menarik kalau sama-sama bicara dengan baik, tanpa mengabaikan pendapat orang lan. Kadang orang yang kita anggap bodoh, justru mempunyai gagasan yang tidak pernah kita duga. Ingat, industri ini butuh kerjasama di semua lini.
2.Semangat dan Fokus
Semangat dalam melakukan pekerjaan, membuat lagu, promosi dan berpikir bagaimana supaya si artis ini laku, memberi energi dan kekuatan untuk memberikan yang terbaik. Harusnya, ketika ini bisa disinergikan dengan semua komponen dalam industri, hasilnya akan baik. Meski banyak hal lain yang tidak pernah kita duga juga.
3.Mencintai Industrinya
Kalau tidak mencintai industrinya, mengapa berniat masuk ke industri ini? Ini bekal penting untuk kemudian berani melakukan banyak yang positif demi memajukan industri musik itu sendiri. Kecintaan ini tidak bisa muncul secara tiba-tiba tanpa persiapan. Musisi yang kecebur harus benar-benar mempersiapkan perangkat untuk “lari marathon” dan tidak “mati” di tengah arena. Artinya, eksis untuk jangka waktu panjang, perlu dipupuk jauh-jauh hari.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar